Dialog Selepas Maghrib (sebuah cerpen)
“Assalaamu’alaikum…. Assalaamu’alaikum…. Assalaamu’alaikum!”
“Wa’alaikum salaam, eh, Pak Bur. Mari masuk Pak, mari masuk. Wah ada berita apa nih?”
“Nggak ada apa-apa. Saya hanya mau ngomong sedikit sama adik nih.”
“Ada apa ya? Apa ada masalah?”
“Begini, saya nggak enak nih sama adik.”
“Kenapa pak?”
“Anak saya nangis di rumah. Katanya dia habis dimarahi oleh adik. Betul begitu?”
“Oh, itu. Iya, tadi waktu maghrib dia saya tegur karena masih berkeliaran main di lapangan.”
“Kenapa!”
“Lho, kan tidak baik kalau anak-anak masih berkeliaran maghrib-maghrib.”
“Lalu adik bentak dia?”
“Saya tidak membentaknya pak Bur, saya menegurnya. Mungkin suara saya agak keras waktu itu, tapi saya bukan membentaknya. Kalau cemas suara saya memang suka tidak terkendali.”
“Oh adik membentaknya. Apa hak adik menegurnya? Dia itu anak saya! Hanya saya yang boleh memarahinya.”
“Saya tidak memarahinya pak Bur, saya hanya menegurnya.”
“Yah apalah namanya! Tapi sekali lagi hanya saya yang boleh! Lalu apa maksud adik mengatakan saya tidak shalat? “
“Lho, kenapa pak Bur begitu emosi?”
“SIAPAYANG EMOSI! … Adik jangan macam-macam ya! Mulanya membentak anak saya, sekarang mau mempermainkan saya. Kamu kira siapa kamu ini, ha! Jangan macam-macam sama saya. Hormati yang lebih tua.”
“Sabar pak Bur, sabar.”
“Jangan suruh saya sabar-sabar! “
“Tenang dulu lah pak Bur.”
“Kamu yang tenang. Jangan bentak anak orang seenaknya!”
“DIAM DULU KENAPA SIH!!!”
“…”
“Nah, maaf sudah membentak pak Bur.”
“Suara kamu keras juga ya. Huh, kamu ini, anak kecil tapi bersuara nyaring.”
“Maaf pak Bur. Rasanya ada yang harus dijelaskan di sini. Tapi saya minta pak Bur, walau sedang emosi begini, bisa tenang sedikit. Kita kaum pria seharusnya bisa berkepala dingin menghadapi masalah. Jangan seperti wanita yang datang-datang langsung caci maki tanpa pikir panjang.”
“…. Oke. Maaf saya agak emosi. “
“Nah. Berapa anak bapak semuanya?”
“Tiga. “
“Berapa umur bapak?”
“Kenapa tanya-tanya?”
“Tolong dijawab saja. “
“36.”
“Umur saya 38.”
“Lho? Masa?”
“Tidak percaya?”
“Nggak, ah. Masak adik sudah setua itu? Tampangnya koq masih seperti umur 25 ya?”
“Umur saya 38 tahun. Silahkan lihat di KTP saya, sebentar..., nah ini. Lihat tahun lahir saya, umur saya sekarang sudah 38 tahun.”
“Iya, ya. Tampangnya koq awet. Saya kira masih muda.”
“Jadi sejak sekarang jangan panggil saya adik lagi!”
“I… iya, maaf saya tidak tahu.”
“Nah…, sekarang…, mari kita bahas topik sebelum ini. Siapa yang harus dihormati disini?”
“…”
“Hm, rupanya adik Bur tidak bisa menjawab?”
“…!”
“Ha ha ha, maafkan, saya sudah kelewatan. Tapi bisakah anda menganggap saya kakak anda?”
“Anda memang lebih tua dari saya. Tapi pada umur segini kita sudah sebaya.”
“Betul. Apalah arti selisih usia yang hanya dua tahun. Sejak masa usia dua puluhan, memasuki masa dewasa kita, rentang selisih kesebayaan memang melebar. Kadang orang yang jauh lebih tuapun masih kita anggap sebaya dengan kita. Tapi kadang kita enggan mengakui kesebayaan pada orang yang lebih muda.”
“Benar juga. “
“Seperti anda yang menganggap saya lebih muda. Anda datang kesini lalu marah-marah seperti kepada anak remaja saja. Padahal ternyata saya lebih tua dari anda. Dan saya juga sebenarnya tidak terlalu senang dianggap lebih muda oleh yang sebaya dengan saya dan dianggap sebaya oleh yang jauh lebih muda dari saya. Bayangkan, anak-anak usia duapuluhan itu memanggil nama pada saya. Padahal dulu, waktu mereka masih menetek sama ibunya kita sudah main bola di lapangan dan naik sepeda ke tempat-tempat yang jauh.”
“Ah, sudahlah…, saya minta maaf sekali lagi. Saya jadi malu.”
“Baiklah. Tidak perlu kita bahas lagi masalah ini. Mari kita kembali pada masalah utama.”
“…”
“Lho, rupanya pak Bur masih marah?”
“Tolong saja anda ceritakan apa yang terjadi ketika itu, sampai anak saya nangis-nangis pulang ke rumah.”
“Begini, waktu itu saya baru pulang kantor. Saya sering baru tiba di komplek ini setelah maghrib, biasa, macet. Terus, waktu saya lewat di lapangan dekat mesjid saya lihat ada anak-anak masih bermain-main, padahal orang sedang shalat berjamaah di mesjid. Lalu saya tegur mereka. Tapi rupanya mereka tak mengacuhkan saya. Heran, anak jaman sekarang sudah tidak menghormati orang tua lagi.”
“…”
“Saya jadi tersinggung. Suara imam di mesjid sedang membacakan Al Fatihah tapi anak-anak ini malah berteriak-teriak berlari-lari di lapangan. Sepertinya mereka tidak diajar sopan santun oleh orang tua mereka.”
“…”
“Lalu saya bentak mereka semua. Eh, mereka malah melawan. Kurang ajar. Saya marah, lalu saya usir mereka dari sana. Dan mereka lari pulang sambil mencibir pada saya. Saya hanya mengurut dada. Orang-orang yang sedang berkumpul di warung bu Ijah menyoraki saya untuk memarahi mereka lebih keras lagi. Kata mereka anak-anak harus diajar sopan santun agar lebih hormat pada yang tua. Mereka juga mengutuki para orang tua yang membiarkan anak-anak itu berkeliaran, bukannya menyuruh untuk shalat di mesjid. Padahal mereka sendiri tidak shalat, malah berkumpul di warung.”
“…”
“Tapi waktu itu anaknya pak Bur tidak ikut lari. Saya jadi tambah marah, lalu saya hampiri dia. Tapi marah saya hilang ketika melihat ekspresi di wajahnya. Dia seperti menantang saya. Saya datangi dia dan ketika sudah berhadapan dengannya, dia memprotes. Katanya, ‘Kenapa abang mengusir kami. Ini hak kami untuk bermain di sini. Kalau abang tidak suka, ya jangan mengusir kami. Biarkan saja kami bermain.’ Bayangkan pak Bur, anak sekecil itu memanggil saya abang. Padahal bapakya lebih muda dari saya.”
“…, maafkan dia. Dia tidak tahu apa-apa.”
“He he he. Tidak apa-apa. Tapi saya kagum dengan ketegasannya itu. Pasti bapaknya yang mengajari dia begitu.”
“… hm…hm…hm.”
“Saya sudah tidak marah lagi waktu itu. Lalu saya katakan kepadanya kalau dia memang punya hak untuk bermain. Saya mengatakannya dengan lemah lembut. Dan saya jelaskan bahwa saya bukan melarangnya bermain di lapangan, tapi karena hari sudah maghrib dan orang sedang shalat di masjid. Suara mereka mengganggu orang yang sedang shalat. Saya juga jelaskan kalau pak Bur, bapaknya yang sedang shalat di masjid, pasti terganggu waktu itu. Lalu saya lihat wajahnya jadi sedih. Saya pikir pasti dia menyesal karena mengganggu orang yang sedang shalat. Atau setidaknya mengganggu bapaknya yang sedang shalat. Kemudian saya tanya apakah dia tidak shalat. Dia menggelengkan kepala. Lalu saya suruh dia pulang supaya shalat. Tapi dia malah menangis lalu berlari pulang. Nah, selanjutnya bapak yang tahu ceritanya. Saya sendiri buru-buru ke mesjid ikut shalat berjamaah. Bagaimana dia di rumah?”
“…, hhhhhhhh…., yah, dia menangis pulang ke rumah. Oh ya, saya tidak shalat di mesjid maghrib tadi.”
“Ya, saya juga tidak melihat bapak di masjid tadi.”
“Anak saya pulang sambil nangis. Saya heran, lalu saya tanya kenapa dan dia menceritakan seperti yang anda ceritakan tadi. Istri saya yang ikut mendengarkan jadi emosi. Dia marah pada anda dan mempengaruhi saya. Tapi itu belum membuat saya mendatangi anda sekarang ini, sampai anak saya menanyakan kenapa saya tidak shalat. Mendengar cerita anda sepertinya anak saya menangis karena saya tidak shalat. Tapi istri saya yang sedang emosi malah menuduh anda telah menghina saya dengan mengatakan bahwa saya tidak shalat pada anak saya. Sampai anak saya menanyakan itu segala. Saat itulah emosi saya meledak. Lalu saya mendatangi anda.”
“…, yah, begitulah dunia kita sekarang pak Bur.”
“Iya. Saya juga heran kenapa bisa begini. Padahal dulu waktu kita masih kecil sering para orang tua lain memarahi kita kalau kita melakukan kesalahan, bukan hanya orang tua kita saja.”
“Iya, saya masih ingat waktu kecil di kampung juga pernah seperti anak bapak. Saya sedang nongkrong di warung ketika maghrib, lalu ada pak Malik yang memarahi saya seperti itu. Saya lari terbirit-birit meninggalkannya. Ha ha ha, sampai di rumah saya juga malah dimarahi bapak saya.”
“Iya, begitu juga di kampung saya. Oh ya, dimana kampung anda?”
“Saya dari Kampung Tiga.”
“Lho, saya juga dari Kampung Tiga. “
“Masak? Kita sekampung kalau begitu.”
“Iya, pak Malik itu juga ayah saya.”
“Lho? Jadi…, kamu si Bur itu? Yang pernah kecebur kali waktu memandikan kerbau pak Rohim?”
“I.. iya, anda siapa ya? Tunggu, sepertinya anda si…”
“Saya anak pak Rohim, yang paling tua.”
“Astaga! Bang Hasyim?! Bang Hasyim?! “
“Iya!”
“Astaga! Bang Hasyim! Koq aku tak kenal abang ya? Pantas rasanya ada yang aneh di KTP abang. Tadinya aku tak tahu apa, tapi aku baru sadar tempat lahir yang di Kampung Tiga itu rupanya.”
“Itulah kau Bur, tak pernah pulang kampung. Kau ini!”
Labels: Non regie